26 Mei 2008

Doktrin yang kerap disapa 'utopis'

Seorang Sahabat mungkin pernah menyapa anti dalam satu sudut kosong sebuah testimonial:

Sepotong sorga yang kau perubutkan dengan tetanggamu dalam doa-doa kudusTak lebih dari ilusi yang beribu kali membuatmu berpaling dari rasa lapar dan derita orang-orang susahLupakan saja sang sorgaPintu Allah terbuka pada setiap perlawanan atas penindasan(Coba tebaj itu puisi sapa?Alan Poe?! Bukanlah!!!)

Kerap kita mendengar prinsip para pemuja Rabi’ah Al Adawiyah secara tak proporsional, tanpa melihat konteks dimana dicetuskannya teori yang menurut saya cenderung utopis itu. ”Jika Syurga dan Neraka, tak pernah ada... masihkah kau sujud kepadanya”. Begitu mabuknya kebanyakan kita dengan ratapan melankolis seperti ini.

Betapapun demikian, berbicara masalah syurga adalah berbicara masalah rumah kita, bukankah disanalah awal tempat asal kita..., muara sepenuh perjalanan hidup orang-orang yang Merdeka. Tak proporsi seandainya syurgapun kita rendahkan dengan untai kata sastra bermetafor ’sepotong’, seolah-olah syurga adalah sebuah roti nikmat yang diperebutkan. Lantas demikianpun tawaran Allah berupa syurgapun digantikan oleh eufhoria perjuangan atas orang-orang lapar dan susah.

Syurga adalah sejumput pengharapan dan perinduan yang menjadi tawaran, tawaran Allah kepada orang-orang beriman. Keimanan dalam konteks islam juga tak berarti mengabaikan penderitaan orang-orang lapar dan susah, namun juga tegaknya paradigama ketertundukan, pengakuan dan bentuk pengillahan kepada Allah. Syurga adalah salah satu bentuk motivasi yang Allah tawarkan, sejarah sekali lagi telah memberikan pemahaman kepada kita bahwa Bani Hasyim dan Bani Abdul Muthallib adalah kabilah pertama yang diiming-imingi keabadian syurga dan keabadian neraka sebagai konsekwensi dari amal perbuatan mereka dalam beriman dan berdakwah. Juz Amma merupakan salah satu catatan, dimana Allah menghamparkan banyak tawaran syurga dan neraka sebentuk sebab dan akibat. Wamaa Khalaqta hadzal batiilaa....

Akhi wa Ukhti, Syurga dan neraka bukan untuk dinafikan, untuk hanya dapat sebuah pengakuan atas nama perlawanan!

Tak ada yang salah dalam kosep tassawwuf dan tidak pula kekeliruan dalam butir pandangan para fuqahaa, yang menjadi masalah adalah sejauhmana upaya kita untuk memahamkan kepada orang lain tentang syumulyatul islam. Dan tak lagi terlena dengan sejarah doktrin gereja yang menjadikan ummatnya irrasional, dan tak juga terbelit oleh sejarah kegemilangan eropa (rennesaince) yang menjadi ummatnya apatis terhadap doktrin samawi (walau telah bercampur). Bukankah cukup islam saja yang menjadi pegangan sebagai agama pilihan, karena pada hari ini telah disempurnakan islam sebagai agama yang diridhoi, yang dimenangkan atas agama-agama yang lain. Kelengkapan itu memuat bait kata Ridho, kata Syurga dan kata Neraka kemudian memuat Kasih sayang dan Sifat tegas. Saya rasa itu sudah cukup....

Sepenggal senandung generasi penantian

”Innakum satamutunna kamaa tanamuun
wa satubatuna kama tastaikhiiruun
wa satuhasabunna bimaa kuntum ta’maluun
tsumma ilal jannah akhran au naaran abadan”

”Faman dzuzhiha ’ani naari wa’udkhila jannata faqad faza....”_

Qala Birul Ma’unah : ”Futzu wa rabbil ka’bah...”

Kesimpulannya adalah, semoga kita tak menjadi orang yang sombong jika ada diantara kita yang menelan mentah-mentah doktrin sufi yang mengatakan keimanan dan penerimaan belum sempurna jika kita berjuang dan beramal untuk kemerdekaan hak-hak yang tertindas masih mengharapkan syurga dan takut akan neraka....


Padang, Menjelang syuraa...
Ahad Biru Dzulhijjah 1428

Tidak ada komentar: