26 Mei 2008

Tarbiyah itu bukan saja pola yang tekurung dalam ruangan 2x2 (sebuah memoar)

Hari-harinya adalah pengorbanan yang senantiasa ia reguk kenikmatannya, karena ia adalah bagian dari sebuah jama’ah.. bergerak atas tuntutan amanah merupakan salah satu pilar asasi dalam memahami peran sebagai afrad, sekalipun amanah itu adalah sebuah hal yang jauh dari muyul-kafaahnya. Amanahnya tak banyak, tapi cukup menyita waktu santainya. Ia ditugaskan untuk mengelola jaringan yang ada di luar kampusnya... melakukan aspek pertumbuhan gerakan diluar kampus, menyemai gerakan bersama.., membangun komunikasi politik dan sebagainya. Hampir seluruh waktunya di nisbatkan untuk perannya diluar, tak usah kita kalkulasikan berapa biaya dan waktu yang dihabiskan untuk keluar daerah dan kampus, berbuat untuk kebangkitan islam adalah kenikmatan baginya. Kehidupan seperti itu bukanlah sekedar pilihan, tapi juga tuntutan, karena pada hakikatnya amanah semakin banyak sedangkan pengusung amanah sedikit, itulah setidaknya yang ia pahami... hingga dia dapat mengatakan ’berjuanglah sampai kau lelah, dan teruslah bergerak hingga lelah itupun akan lelah mengejar engkau..”

Keberadaannya dikampus mamang tak begitu terlihat, karena amanah... ia jauh dari hiruk pikuk aktivitas internal kampus, tak ada yang mengetahui gerak-geriknya kecuali sang mas’ul (ketua). Karena tak semua menginginkan peran seperti itu... untuk mengelola kampus lain dalam sebuah wilayah/daerah bukanlah pekerjaan yang menyenangkan hingga tak seorangpun mengkhayalkan berada pada peran tersebut.

Kondisi dakwah yang begitu cepat membangun paradigma berfikirnya, mencoba merefleksi kondisi dakwah diluar yang penuh kisah heroik dan hasil maksimal dengan kondisi internalnya yang tak begitu baik. Ia mencoba menguraikan fikiran-fikirannya, kontemplasi perjalanan dan refleksi pengalaman ia rumuskan hingga tulisannya menjadi terkesan kritikan dan aroma mutabaah berkepanjangan begitu kental dan berisi. Ia hanya berharap dengan tulisannya mampu merubah paradigma rekan-rekannya yang ada didalam kampus. Namun realitas terkadang tak sesuai dengan rencana akal kita... Wacana dakwah yang selama ini ia ketahui penuh onak dan duri baru terinternalisasi ketika seorang jundi yang lebih muda darinya mendatanginya dengan muka masam menunjuk wajahnya dan mengatakan ”wacana dan wacana... wacana, sementara kami bersusah payah disini, menjalankan agenda dakwah dikampus ini, antm tak pernah kelihatan, tak pernah nampak. Seharusnya antm tak hanya bisa berwacana,... ant seharusnya berkaca! Fikiran ant bagus, jauh kedepan.... tapi tak pernah melihat realitas yang ada, apa ant kira ikhwa yang lain tak ada yang berbuat, beramal...sehingga ketajaman pandangan antum terhadap permasalahan yang ada justru lebih jelas dari solusi gerak konkrit yang ada?” tahu apa yang terjadi setelah mendengan perkataan saudaranya yang lebih muda??? Ikhwa tadi menerawang jauh kedalam alam fikirnya mencoba merunut apa yang salah dalam perbuatannya.

Bukan karena lemah ia mengalah... bukan karena cengeng ia tak melawan dan membeberkan kebenaran, karena ia tahu realitas bahwa beban dakwah ini terlampau berat, sedangkan pengusungnya hanya bilangan jari. Ia pun sadar, menguraikan seluruh apa yang dilakukannya selama ini akan menodai waktu, amal dan peluhnya selama ini. Tak hanya itu, ia akan merusak tatanan ukhuwah jama’ah. Apa pandangan anti??? Ingin menyalahkan sang jundi muda... karena ia tak punya bekal tabayun?, mungkin anti pun tak akan mengira bahwa jundi muda tadi punya beban yang sama, walau amanah berbeda,.. dan yang paling penting adalah harapan mereka berdua sama, ’risalah islam untuk bumi, fitnah yang lenyap, kekuasaan hanya kepada Allah’. Hanya karena mereka manusia, sewajarnya mereka senantiasa ditemani masalah. Ukhti tahu untuk apa, semua itu ada untuk selembar ’pemahaman’.

Kisah diatas merupakan salah satu bentuk tarbiyah yang menelurkan selembar pemahaman, sedangkan banyaknya pemahaman yang dibutuhkan untuk membangun bangunan peradaban hampir bertumpuk-tumpuk... dan itu dimiliki oleh setiap orang diantara kita.

Bagaimana kalau lembar-lembar pemahaman itu kita satukan menjadi jilid baru perjuangan...?

Doktrin yang kerap disapa 'utopis'

Seorang Sahabat mungkin pernah menyapa anti dalam satu sudut kosong sebuah testimonial:

Sepotong sorga yang kau perubutkan dengan tetanggamu dalam doa-doa kudusTak lebih dari ilusi yang beribu kali membuatmu berpaling dari rasa lapar dan derita orang-orang susahLupakan saja sang sorgaPintu Allah terbuka pada setiap perlawanan atas penindasan(Coba tebaj itu puisi sapa?Alan Poe?! Bukanlah!!!)

Kerap kita mendengar prinsip para pemuja Rabi’ah Al Adawiyah secara tak proporsional, tanpa melihat konteks dimana dicetuskannya teori yang menurut saya cenderung utopis itu. ”Jika Syurga dan Neraka, tak pernah ada... masihkah kau sujud kepadanya”. Begitu mabuknya kebanyakan kita dengan ratapan melankolis seperti ini.

Betapapun demikian, berbicara masalah syurga adalah berbicara masalah rumah kita, bukankah disanalah awal tempat asal kita..., muara sepenuh perjalanan hidup orang-orang yang Merdeka. Tak proporsi seandainya syurgapun kita rendahkan dengan untai kata sastra bermetafor ’sepotong’, seolah-olah syurga adalah sebuah roti nikmat yang diperebutkan. Lantas demikianpun tawaran Allah berupa syurgapun digantikan oleh eufhoria perjuangan atas orang-orang lapar dan susah.

Syurga adalah sejumput pengharapan dan perinduan yang menjadi tawaran, tawaran Allah kepada orang-orang beriman. Keimanan dalam konteks islam juga tak berarti mengabaikan penderitaan orang-orang lapar dan susah, namun juga tegaknya paradigama ketertundukan, pengakuan dan bentuk pengillahan kepada Allah. Syurga adalah salah satu bentuk motivasi yang Allah tawarkan, sejarah sekali lagi telah memberikan pemahaman kepada kita bahwa Bani Hasyim dan Bani Abdul Muthallib adalah kabilah pertama yang diiming-imingi keabadian syurga dan keabadian neraka sebagai konsekwensi dari amal perbuatan mereka dalam beriman dan berdakwah. Juz Amma merupakan salah satu catatan, dimana Allah menghamparkan banyak tawaran syurga dan neraka sebentuk sebab dan akibat. Wamaa Khalaqta hadzal batiilaa....

Akhi wa Ukhti, Syurga dan neraka bukan untuk dinafikan, untuk hanya dapat sebuah pengakuan atas nama perlawanan!

Tak ada yang salah dalam kosep tassawwuf dan tidak pula kekeliruan dalam butir pandangan para fuqahaa, yang menjadi masalah adalah sejauhmana upaya kita untuk memahamkan kepada orang lain tentang syumulyatul islam. Dan tak lagi terlena dengan sejarah doktrin gereja yang menjadikan ummatnya irrasional, dan tak juga terbelit oleh sejarah kegemilangan eropa (rennesaince) yang menjadi ummatnya apatis terhadap doktrin samawi (walau telah bercampur). Bukankah cukup islam saja yang menjadi pegangan sebagai agama pilihan, karena pada hari ini telah disempurnakan islam sebagai agama yang diridhoi, yang dimenangkan atas agama-agama yang lain. Kelengkapan itu memuat bait kata Ridho, kata Syurga dan kata Neraka kemudian memuat Kasih sayang dan Sifat tegas. Saya rasa itu sudah cukup....

Sepenggal senandung generasi penantian

”Innakum satamutunna kamaa tanamuun
wa satubatuna kama tastaikhiiruun
wa satuhasabunna bimaa kuntum ta’maluun
tsumma ilal jannah akhran au naaran abadan”

”Faman dzuzhiha ’ani naari wa’udkhila jannata faqad faza....”_

Qala Birul Ma’unah : ”Futzu wa rabbil ka’bah...”

Kesimpulannya adalah, semoga kita tak menjadi orang yang sombong jika ada diantara kita yang menelan mentah-mentah doktrin sufi yang mengatakan keimanan dan penerimaan belum sempurna jika kita berjuang dan beramal untuk kemerdekaan hak-hak yang tertindas masih mengharapkan syurga dan takut akan neraka....


Padang, Menjelang syuraa...
Ahad Biru Dzulhijjah 1428

09 Mei 2008

Wihdah..

….Maa allaftabaina qulubihim, wala qinallaha allafa bainahum innahum ‘azizun hakiim

Apalagi yang tersisa selain kekuatan untuk merealisasikan segenap tujuan islam dalam sejumput ayat yang mempu menggerakkan seluruh sendi pergerakan. Yang mampu menggetarkan seluruh bulu roma jiwa juang. Yang mana semuanya bersimpul pada rasa seindah mahabbah, dengan segenap kelengkapan definisi yang meluap dari sekadar rasa cinta. Hampir lebih dari 6 tahun saya berada diantara lintasan panjang dakwah ini, pamahaman itu terus terang baru terasa manisnya justru ketika saya berada jauh dari lingkaran amal para cucu-cucu mushalla dibilik-bilik mungilnya. ‘Allahumma innaka ta’lamu annahaadzihil quluuba qadijtama’at ‘alaa mahabbatika…’ ini ternyata bukan hanya sekedar bait manis dalam buaian kata-kata… didalamnya ada sebuah tujuan besar yang dibingkai dalam sebuah perasaan yang meluap-luap. (Akhinaa Yasir)

Bab Ukhuwah memang selalu menarik bagi para du’at untuk membicarakannya, apalgi dikalangan ikhwan dan akhwat yang begitu bersemangat mengejar target amalnya dalam sebuah organisasi dakwah kampus untuk kemudian diukir menjadi romantisme dimasa yang akan datang. Ukhuwah bukanlah barang baru dalam dunia pergerakan dakwah kampus, namun agaknya pada hari ini ukhuwah tidak lagi memiliki ruh yang bisa membawa para du’atnya terbang keangkasa untuk mengejar kereta dakwah yang lajunya kian cepat. Iman syahid mengatakan bahwasanya Ukhuwah merupakan hasil kolaborasi antara ruh dan tali aqidah. Kakuatan pertama yang mutlah terlahir dari ruh dan aqidah tersebut seharusnya adalah perasaan untuk bersatu, menyatu seluruhnya, apakah potensi akal, potensi jasad dalam sebuah bingkai kerja dan amalan-amalan dakwah. Kalau seandainya yang menjadi permasalahan pada hari ini adalah tidak bersatunya pada du’at dalam sebuah wajihah dakwah, tidak ada kata sinergis dalam amalan-amalan bersama para aktivisnya, maka hal pertama yang harus dipertanyakan adalah sejauh mana pemahaman para du’atnya terhadap nilai-nilai ukhuwah.

Seperti yang dikatakan imam syahid, Ukhuwah merupakan hasil kolaborasi antara ruh dan tali aqidah. Kakuatan pertama yang mutlak terlahir dari ruh dan aqidah tersebut seharusnya adalah perasaan untuk bersatu. Rasa pesatuan itu bukanlah hal yang bisa direkayasa dan dibuat buat, tapi ia lahir dari rasa cinta kepada Sang Penggenggam jiwa, kecintaaan yang lahir dari segenap amalan-amalah hati dan ruh. Kecintaaan itu benar adanya bukan dalam batas nalar saja yang biasanya muncul dari bacaan-bacaan atau perkataan para astatidz atau muwajih dalam daurah-daurah yang diikuti. Dalam konteks kerja dakwah, rasa ingin bersatu biasanya muncul dari rasa prihatin, perasaan bertanggungjawab atas amanah dakwah yang dipikulkan kepadanya serta pemahaman seorang du’at terhadap mekanisme perealisasian tujuan dakwah.

Ikhwafillah, rasa prihatin muncul dari pemahaman yang mendasar terhadap problematika yang menimpa ummat pada hari ini, serta pemahaman yang komperhensif terhadap fenomena dakwah secara khusus. Saya tidak akan membahas panjang lebar tentang problematika ummat kali ini, namun setidaknya pamahaman seorang aktivis terhadap probelematika ummat pada hari ini akan menjadikannya senantiasa bersemangat untuk memenuhi seruan dakwah, tentu saja hal ini dipicu dari meleburnya rasa bahwa permasalahan ummat adalah bagian dari permasalahan dirinya dan sebagainya. Jika dilihat pemahaman seperti ini, maka hal-hal yang akan mengahmbat dari rasa prihatin itu adalah perasaan kikir, senantiasa khawatir, perasaan ragu dan lain sebagainya. Banyak kasus dalam dakwah kampus yang menunjukkan bahwa sebagian aktivis dakwah masih belum memahami proporsi antara kerja dakwah dan aktivitas kuliah, sehingga aspek totalitas dalam prinsip dakwah maih belum mampu dipenuhi secara baik, ini lagi-lagi berkaitan dengan kekuatan keyakinan (Aqidah) terhadap perealisasian seluruh janji-janji Allah dalam Al Quran. Dan kekuatan keyakinan itu seharusnya sudah bisa dipenuhi seiring dengan target amal-amal yaumi yang mampu direalisasikan, serta persentasi keiklasan yang mampu dipertahankan dalam menjalankannya.

Kalau ini juga masih belum terpenuhi artinya memang disinilah pangkal masalahnya. Penyelesaian masalah ini tentu kembali lagi kepada para du’at untuk senantiasa meningkatkan kuantitas dan kualitas ubudiyahnya kepada Allah swt. Sehingga seperti yang dikatakan oleh Ust. Rahmat Abdullah Alm., ”.. suara merdu persaudaraan sepatutnya didominasi oleh ‘nuansa bening’”.Karena memang seperti yang disebutkan diawal tadi ukhuwah merupakan sebuah hal yang terbentuk dari mahabbatullah dan kedekatanya dengan Dzat yang menggenggam dan meiliki hati-mati manusia. Wallahu’alam

Permasalahan kedua dalam proses merealisasikan wihdah amal islamy adalah pemahaman yang jelas terhadap mekanisme pencapaian tujuan-tujuan dakwah. Persatuan dan rasa ingin bersatu tentu saja tidak akan terealisasi ketika para muharriq dakwah tidak mengetahui dan memahami secara jelas tentang bagaiaimana merealisasikan tujuan-tujuan dakwah. Pertanyaan bagaimana merealisasikan tujuan-tujuan dakwah juga tidak akan bisa terjawab manakala kita tidak mengetahui secara jelas apa sebenarnya yang menjadi tujuan-tujuan dakwah tersebut. Dan tentu saja tujuan-tujuan dakwah tidak akan terapai manakala pada du’at tidak memahami apa itu dakwah dan bagaimana hukum dan tabiat-tabiatnya.

Ikhwafillah sekalian, jika kita mau jujur… sebenarnya inilah salah satu wabah yang menyerang dakwah kita pada hari ini, kebanyakan dari kita hidup dalam zona nyaman dibawah payung dakwah. Namun tidak menjadi struktur kokoh pembentuk dakwah itu sendiri. Suatu ketika seorang sahabat melontarkan pertanyaan yang menggelikan sekaligus mengejutkan saya, dia bertanya “apa itu dakwah akhi… apakah dakwah itu seperti kulit kacang, bendera, umbul-umbul atau ia adalah sekedar eufhoria kata-kata?”. Pertanyaan itu jelas mengentak jiwa saya yang selama ini merasa merupakan bagian dari dakwah itu sendiri. Setelah saya merenungi pertanyaan itu, ada sebuah hal yang di isyaratkan oleh sahabat tadi… adalah bahwa dakwah pada hari ini lebih mengutamakan tampilan dari pada isi, sama seperti yang disampaikan oleh Eep Saifulloh Fatah dalam sebuah tulisannya yang mengatakan bahwa kelemahan gerakan islam pada hari ini adalah lebih sibuk mengurusi kulit dari pada fokus untuk memikirkan isi. Artinya memang dakwah pada hari ini bukan lagi berbicara masalah gerakan yang lahir dari pemahaman dan amal yang berkesinambungan, tapi langsung kepada citra yang terkesan dipaksakan. Padahal seharusnya dakwah seara alamiyah akan terbentuk dari dalam.. pancaran pemahaman dan kinerja yang sungguh-sungguh merupakan kekuatan yang mampu menghidupkan cahayanya ditengah gelapnya probelmatika ummat yang kian pekat ditelan gelapnya kejahiliyahan. Jadi mutlaklah bahwasanya untuk merealisasikan kuatnya persatuan dalam bingkai ukhuwah seorang du’at harus memahami dakwah secara benar yang juga sarat dengan pemahaman terhadap hukum-hukum serta tabiat-tabiatnya.

Mungkin setelah ini kita bisa membolak-balik kembali buku fiqh dakwah kita yang ada dirumah serta mengamalkannya dengan segenap hati.

Khatimah,

“Tak ada persatuan tanpa cinta kasih, sedangkan derajat cinta yang paling rendah adalah bersihnya hati dari berburuk sangka kepada sesama saudara, yang paling tinggi adalah mampu mendahulukan kepentingan saudara dari kepentingan pribadi”

Akhir-akhir ini saya rasa menjadi akhir yang berat bagi keseluruhan kerja dakwah dalam konteks DK UBH, tapi bukan berarti tidak ada jalan atau solusi. Selalu ada solusi bagi setiap du’at yang masih yakin dan percaya kepada pertolongan Allah. Selalu ada solusi bagi mereka yang bekerja dan terus beramal tanpa menuntut apapun pada siapapun termasuk saudaranya, justru merekalah yang senantiasa menjadi motor penggerak bagi ikhwah yang lain untuk beramal. Bekerja atau tidaknya ikhwah yang lain tidak menjadi penghalang bagi kinerjanya, selalu ada kejernihan hati dan pancaran basirah untuk senantiasa berbaik sangka dan membumikan bi’ah tausiyah dengan kalimat yang indah tanpa cela kepada mereka yang masih menunggu dan ragu untuk beramal. Hal ini tentu saja dikuatkan oleh pemahaman bahwa mereka beramal bukan karena sesuatu, seseorang, yang manakala seseorang itu tidak beramal maka dia juga urung untuk menunaikan tugasnya dengan gemilang. Tapi mereka beramal merupakan karena pemahaman bahwa dakwah merupakan kewajiban kepada Allah yang harus segera ditunaikan. Itu yang kami maksud dengan salah satu makna keikhlasan dalam beramal. Tak ada yang mampu mencegah mereka untuk terus beramal dan berbuat baik kecuali Allah memutuskan untuk segera memanggilnya keharibaan. Wadzaa likaa huwal fa udzul adhim…

Wallahu’alam bisohwab

Ayat Rabitah

Sekedar intermezo,

Ayat rabitah adalah permohonan indah bagi mereka yang secara langsung menceburkan diri dalam telaga dakwah. Permohonan yang diungkapkan dengan kesucian jiwa, kematangan pemahaman, dan perasaan rindu. Kenapa ia disebut sebagai ungkapan yang contentnya adalah kesucian jiwa (tazkiyatun nafs)?

Allahumma innaka ta’lamu annahaadzihil quluuba qadijtama’at ‘alaa mahabbatika…

Ungkapan tersebut bukanlah kutipan dari sebuah hadits, namun tetap saja ia merefleksikan mind setting untuk senantiasa melahirkan ahsauqaulan, bahkan lebih dari sekedar itu.

Mari saya ajak kita semua untuk lantunkan syairnya

Ayat Rabitah

(Izzatulislam)

Sesungguhnya engkau tahu bahwa hati ini telah berpadu

Berhimpun dalam naungan cintaMu

Bertemu dalam ketaatan bersatu dalam perjuangan

Menegakkan syariat dalam kehidupan

Kuatkanlah ikatannya, kekalkanlah cintanya

Tunjukilah jalan-jalannya

Terangilah dengan cahayaMu dengan tiada pernah padam

Ya Rabbi bimbinglah kami

Lapangkanlah dada kami dengan karunia iman dan indahnya tawakal padaMu

Hidupkan dengan ma’rifatmu, matikan dalam syahid dijalanMu

Engkaulah pelindung dan pembela