
Bulir air itu hampir saja terjatuh manakala bibir saya menyentuh ayat-ayat terakhir surah Al Hajj. Masalahnya memang tak berhenti dimakna, namun lebih kepada rasa…
Keberimanan…
Begitulah, beberapa orang mengatakannya demikian. Allah swt memberikan begitu saja rasa itu tiba-tiba dan secara cuma-cuma, sehingga saya merasa disinggung oleh Allah dengan Al Anfaal ayat 3 didalam mushaf ciptaanNya.
Sejenak saya tersadar, bahwa Sang Muqalibal Quluub itu sedang menggeser hati ini dengan ‘jemari’Nya yang perkasa sehingga mengapunglah sisi keberimanan dalam qalbu saya yang terdalam. Pada saat itu saya patut bangga…, Allah sayang. Wajar.
Tapi… bagaimana dengan sebuah kepastian bahwa kelak Dia akan menelungkupkan hati ini hingga kemungkinan cahayanya untuk berpendar gemilang menjadi kecil kembali? Karena Dialah yang paling berhak untuk menentukan kapan kita dihambungkan dengan keberimanan dan kapan Kita samasekali dijauhkan dari zona nyaman ubudiyah kita…
Maka menjadi nyata apa yang sering diucap oleh para pengkaji tarekat yang mengatakan ‘laa haula wala quwata ila billah’. Namun, tidak demikian jika kita memakai kacamata para fuqaha dalam memahami konsepsi keberimanan ini. dan justru terahir saya mengambil kesimpulan bahwa nilai perjuangan kita sesungguhnya baru dapat diukur manakala kita beramal optimal pada saat kata keberimanan jauh dari diri kita. Dan upaya mengecilkan jarak antara zona tak beriman dan zona keberimanan dengan optimasi amal-amal kebaikan dan jihad adalah point plus untuk mendapatkan medali cinta berfase dalam kehidupan kita.
Kembali lagi pada apa yang saya rasakan pada saat sekarang. Apakah perasaan damai dan tenang dalam radius keberimanan itu perlu saya explorasi sebagai bukti cinta? Saya rasa Ya. dan seharusnya menjadi optimal. Namun bagaimana jika sedang tidak dalam kondisi beriman? ada yang bilang “setidak-tidaknya kerjakan yang wajib, jangan melakukan maksiat, dan upayakan mengais serpihan cinta dengan mengerjakan yang sunnah”. Wallahu’alam.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar